Subscribe For Free Updates!

We'll not spam mate! We promise.

2015/03/29

Perubahan denagn Kepercayaan Rasional

*Ahmad Muqsith (Presiden Direktur Kelompok Studi Mahasiswa Walisongo 2015) Dalam sebuah tulisan catatan pinggirnya yang berjudul Istri Lot, Goenawan Mohamad begitu apik menjelaskan sisi heroik yang tersembunyi dari kisah hancurnya Sodom. Menyitir dari penyair Anna Akhmatova, Goenawan memunculkan ke permukaan kesadaran yang selama ini tertutupi mitos agama yang cenderung patriarkal. Ditulis alasan logis berbobot value yang tidak terungkap orang banyak tentang apa alasan istri Lot menoleh ke belakang dan akhirnya menjadi tiang garam. Dengan sedikit mereduksi sedikit sumber cerita yang bersumber dari agama-agama, syair Anna akan membuat kita mengangguk kecil dan bilang “ouw jadi begitu”. Syairnya “..tapi hati istrinya berbisik, kian kuat tak, tak seperti biasa : “senja belum gelap. Tengoklah di balik sana. Pandanglah menara kotamu yang merah mawar, taman tempat kau bernyanyi, halaman tempat kau memintal, jendela lapang rumahmu yang nyaman dimana anak-anakmu kau lahirkan.” Maka ia pun memandang Sodom kembali..” Istri Lot yang asli Sodom berbeda keterikatan jiwanya terhadap daerah yang dihancurkan Tuhan tersebut dibanding Lot yang seorang pengelana. Syahdan, apa beda kondisi pemuda sekarang dengan kondisi kisah yang ada dalam kitab suci tersebut? Terlalu banyak persamaanya. Pertama, hampir sudah tidak ada lagi pemuda yang punya keberanian dan hati seperti istri Lot, yang berani melakukan sesuatu demi sesuatu yang berharga-syarat nilai keutamaan bagi tempat kelahiranya. Banyak pemuda-pemudi yang merasa tidak masalah saat masalah benar-benar menjadi suatu hal yang membuat masyarakat resah dan gelisah. Banyak pemuda yang tidak mau menengok ke belakang melihat sesuatu yang berharga karena mereka tidak bernai terhadap tanggungan resiko yang terlalu tinggi. Mereka hanya menurut sesuai aturan dan perintah yang sebisa mungkin mencita-citakan ketertiban masyarakat. Jika Lot mematuhi Tuhan untuk tidak menoleh, maka mahasiswa pun sama. Bedanya, tuhan mahasiswa kali ini adalah belajar dengan giat tanpa peduli nasib rakyat. Ketakutan akan jaminan kerja di masa depan mendesak mahasiswa taat kepada peraturan agar lulus dengan nilai sempurna tanpa harus memperjuangkan nasib paria. Jangankan mengamati-menimbang kebijakan pemerintah terkait nasib rakyat kemudian menentukan sikap, mahasiswa sekarang mengetahui ada kebijakan apa saja pun tidak. Mahasiswa yang masih sempat ingat mandat sebagai pembela rakyat, sama halnya dengan nasib Istri Lot. Memperjuangkan sesuatu yang membuat mereka berhadapan dengan nasib yang singulardan ganjil. Seakan-akan menentang hukum alam dan tuhan, karena menurut keyakinan mereka, hemat penulis, tuhan dimaknai sebagai sesuatu yang harus dekat dengan urat nadi, bukan sesuatu yang transenden dan suci yang tidak mengurusi kaum paria. Maka apa yang mereka lakukan pondasinya adalah kesadaran dimana ada kemungkinan mereka juga sama menjadi tiang garam seperti istri Lot. Optimisme dan Pesimisme Jangankan melawan, penulis hanya berharap pemuda-pemudi-para mahasiswa mau melakukan sesuatu dan tidak menjadi orang yang eskapis. Orang yang melarikan diri dari kenyataan yang menurutnya sudah final dan tidak bisa di ubah. Tentu tidak harus melulu lewat aksi turun jalan-tapi menurut penulis hal itu tak bisa ditinggalkan. Tapi, upaya penyadaran pemuda-pemudi yang efisien adalah melalui menghidupkan lagi kelompok studi mahasiswa di masing-masing kampus, usaha ini merupakan-meminjam istilah Eric Fromm-sesuatu yang berdasarkan kepercayaan rasional. Suatu kepercayaan akan adanya perubahan yang berdasarkan kesadaran nyata tentang semua data yang relevan, dan bukan-seperti halnya kepercayaan irasional, yang merupakan ilusi yang dilandaskan pada keinginan kita. Kita tidak boleh pesimis mengatakan “Indonesia ya begini, mau diapakan lagi”. Karena pesimisme semacam itu adalah suatu keputusasaan. Keputusasaan hanya lahir berdasarkan pengetahuan komperhensif yang menjelaskan bahwa ada ketidakmungkinan terhadap sesuatu. Sementara lawanya, optimisme berdiri berseberangan. Optimisme adalah suatu bentuk kepercayaan, berdasarkan pengetahuan komperhensif yang menunjukan bahwa sesuatu mungkin terjadi, maka kita wajib mengarusutamakan sikap kepercayaan rasional ini dengan terus mencari solusi dari setiap permasalahan yang ada. Keputusasaan yang membuat seseorang menjadi eskapis menurut Eric Fromm adalah sesuatu yang tidak realistis. Membangun sikap optimis dengan membuahkan harapan, menurut penulis harus sama sperti di awal 1900-an, melalui kelompok studi. Budi Utomo harus kembali menjamur di kampus untuk menyebar virus optimisme dengan paketan solusi bagi setiap permasalahan yang ada. Kelompok studi harus menjadi motor penyebar dogma yang percaya kepada asas gerak kemajuan bersinambung. Jika masing-masing kampus se Indonesia mempunyai kelompok studi yang mampu bertugas seperti itu, maka perubahan adalah suatu kepercayaan rasional karena berdasarkan fakta, bukan kepercayaan yang irasional yang berdasarkan keinginan semata. Lantas, ada berapa jumlah mahasiswa yang berani mengambil resiko menjadi tiang garam seperti istri Lot?

Hentikan Para Eskapis!

*Ahmad Muqsith (Presiden Direktur Kelompok Studi Mahasiswa Walisongo 2015) Banyak studi agama memaparkan alasan-alasan kenapa manusia mencari Tuhan dan menciptakan agama. Mulai dari ketidakmampuan manusia menaklukan kekuatan alam, sehingga mereka harus meminta bantuan kepada sesuatu yang supranatural dan berkekuatan besar, yang pada akhirnya sesuatu itu menjadi “Tuhan”. Ritus-ritus untuk menyembah Tuhan kemudian terorganisir menjadi agama. Beragam ritual diciptakan manusia agar yang supranatural membantu menaklukan alam disaat mereka mulai hidup dengan cara bertani. Meminta hujan misalnya. Dengan pendekatan seperti yang sering diceritakan E.B Tylor, manuisa percaya jika ritual itu dilakukan secara benar Tuhan akan membantu mereka mengatur angin, menurunkan hujan, memindahkan badai dan seterusnya. Mereka berlindung pada suatu kekuatan besar agar ketakutanya pada keganasan alam teratasi. Jika diamati, proses pemilihan Presiden sebenarnya mirip studi agama diatas. Di tengah kekuatan alam yang begitu dahsyat mengancam keberlangsungan hidup manusia, seperti pasar bebas tanpa keterampilan profesionalitas pekerja, sempitnya lapangan pekerjaan ditengah bonus demografi, tingginya biaya hidup disusul inflasi hebat, membuat manusia pada umumnya merasakan ketakutan yang luar biasa. Maka memlih Presiden (tuhan) yang tepat dengan potensi super power yang dimiliki, mereka berharap nanti tuhan ini bisa menyelamatkanya dari keganasan alam. Ritualnya adalah pemilu, kampanye-kampanye, penggalangan masa. Ibadah ini bersiklus 5 tahunan sekali. Bahkan sejak 2005 (pilkada langsung) dan 2009 (pileg langsung) hampir mirip teori The Origin of The Idea of God milik Wilhelm Schmidt. Saat monoteisme primitif awal menunjukan manusia hanya menyembah satu Tuhan, sama dengan sekarang, pada awalnya hanya percaya bahwa presidenlah yang akan menjadi pembeda nasib mereka. Sesuai teori Schmidt, Tuhan yang tak kunjung hadir dianggap menghilang kemudian digantikan oleh roh yang lebih rendah, dewa-dewa di kuil. Saat pilpres tak merubah nasib, manusia sekarang mulai berfikir bahwa caleg yang keberadaanya mewujud dan lebih dekat seakan lebih menjanjikan perubahan, caleg menjadi “roh yang lebih rendah” dibanding “tuhan (presiden)”. Siklus pencarian tuhan (presiden) sebagai juru selamat dari keganasan alam, atau roh-roh yang lebih rendah (Gubernur, Walikota, Bupati, Legislatif) membawa masyarakat dalam perseteruan sengit adu teori truth salvation. Konsep Tuhan dan roh-roh yang lebih rendah buatan mereka sendiri membuat mereka mengeluarkan agresinya. Dalam istilah Erich Fromm, agresi itu dinamai agresi jahat yang berupa kedestruktifan dan kekejaman sebagai kecenderungan khas manusia untuk merusak dan untuk memperoleh kekuasaan mutlak. Maka yang semula saudara bisa mendadak bermusuhan, yang dulunya kawan mendadak jadi lawan, agresi jahat bekerja demi ritual kepada tuhan dan roh-roh yang mereka anggap bisa menyelamatkan. Sekarang, bukankah masyarakat mulai sadar, ritual yang selama ini mereka ciptakan untuk tuhan dan roh-roh tetap tak bisa menaklukan keganasan alam? Kebanyakan mereka yang sadar memilih tindakan yang beragam. Mulai menjadi teodise ala Epikurus, tuhan (presiden) itu bisa menaklukan alam, tapi dia tak mau (berarti tuhan jahat). Atau tuhan (presiden) mau menghentikan kejahatan tapi dia tak mampu (berarti tuhan lemah). Atau hanya sekedar menjadi eskapis, lari dari kenyataan bahwa alam terlalu ganas. Mereka para eskapis belakangan ini sudah cukup dengan batu akik. Walau penulis curiga bahwa sebenarnya mereka sendiri (para eskapis) tahu bahwa mengasah batu akik tidak akan membantu menaklukan alam, ya, karena mereka hanya sebatas eskapis. Seiring dengan pergantian generasi, mereka berkembang ke arah yang lebih buruk. Suatu saat, ketika mereka berkembang sedemikian jahatnya hingga mereka memuja kekuatan ; kebenaran bagi mereka dan penghormatan terhadap kebaikan tak akan ada lagi. Pada akhirnya, manakala manusia tidak lagi marah terhadap pelanggaran, atau tidak lagi malu terhadap hal yang memalukan, Zeus akan membinasakan mereka, begitulah yang tertulis pada mitologi Yunani di zaman besi. Saat semakin bertambahnya orang eskapis dan sinisme terhadap kebaikan, Tuhan yang akan menghukum. Tapi, sebagai orang yang waras, menunggu Tuhan menghukum adalah sebuah sinisme terhadap kebaikan yang baru. Optimisme harus dikumandangkan agar keimanan kita terhadap perubahan tetap terjaga. Dari film PK (India), kita tahu Tuhan ada dua, pertama yang menciptakan kita, kedua adalah yang kita ciptakan. Kita harus mengkoreksi konsep Tuhan, kalau perlu Karl Rahner dalam Anonymus Cristianity kita kolaborasikan dengan hasil belajar dari film PK. Hasilnya, asal menaruh keimanan pada Tuhan yang menciptakan kita (yang mampu membantu menaklukan alam) kita tak perlu terjebak pada ritual seperti yang dipaparkan Rahner. Menurut Goenawan Mohamad, kita harus menghindari sinisme yang keliru, tak peduli ketika bangun saat fajar masih ada banyak hal yang belum terselesaikan, masih banyak hal yang harus dihancurkan, setidaknya optimisme dengan melakukan “sesuatu” bagi penulis lebih baik daripada eskapis yang keputusasaanya keliru.

2015/03/17

Totalitarianisme dan Kemanusian

*Ahmad Muqsith (Presiden Direktur KSMW 2015) Negara, dari mana ia tercipta dan untuk apa tujuan penciptanya? Maka akan banyak pandangan yang memberi jawaban sesuai corak pemikiran yang khas sesuai disiplin keilmuanya. Menurut John Locke dalam Two Treatises on Civil Government, manusia pada dasarnya akan mempunyai dua keadaan dalam state of nature-nya. Keadaan alamiah pertama manusia adalah saat mereka dilahirkan mempunyai kebebasan yang sama dengan manusia lainya. Kedua, manusia juga mempunyai nilai kesetaraan yang sama sejak dilahirkan dan tidak ada manusia yang dilahirkan lebih daripada manusia yang lain. Karena hukum alamiah manusia itu menjadikan manusia bebas dan setara, Locke memandang itulah mengapa manusia tidak seharusnya bisa melukai hak orang lain, bahkan melukai diri sendiri pun tak diperbolehkan. Hak alamiah yang paling subtantif menurutnya adalah hak hidup, kebebasan dan kepemilikan. Hak alamiah akan melindungi seluruh manusia dalam kawasan state of nature agar kehidupanya harmonis dan damai, agar hal itu terjadi maka manusia yang melanggar hak alamiah manusia lain boleh-harus dihukum. Untuk melakukan hukuman terhadap orang yang melanggar hak alamiah, maka menutut manusia membentuk sebuah institusi yang bisa menghukum atas nama manusia lainya dalam wilayah state of nature tadi. Institusi ini hanya diberi wewenang sebatas apa yag diberikan seluruh manusia untuk melindungi hak alamiahnya, tidak sewenang-wenang dan absolut. Tugas institusi ini adalah memperbaiki apa yang tidak baik dan menghukum pelanggar hak alamiah orang lain. Tugas lainya adalah mencegah agar kekacauan-pelanggaran hak alamiah tidak terjadi dalam suatu wilayah yang terlindungi institusi tadi, menjaga keharmonisan (stabilator). Selanjutnya institusi itulah yang disebut dengan negara. Selanjutnya masing-masing negara mempunyai kewenangan sendiri mengatur dan menjaga tujuan diciptakanya negara (agar kehidupan manusia yang tinggal dalam suatu wilayah tertentu harmonis dan damai). Akan tetapi, seiring perkembangan zaman (globalisasi) menuntut negara-negara tidak bisa secara otonom-mandiri mengatur-menjaga hak alamiah warganya tanpa pengaruh-kebijakan negara lain. Apalagi saat perusahaan multi nasional menancapkan akarnya pada peradaban manusia di abad modern. Lomba untuk saling menguasi-menghegemoni menjadikan gambaran Locke mengenai konsep bahwa manusia yang pada awalnya bebas dan setara menjadi hanya sebatas utopia semata. Perbedaan kelas, harta dan kuasa menjadi pemisah antara kelompok sosial. Bahkan aliran totaliarisme menjadi gaya neo feodalisme dalam usaha menjadi peradaban yang superior dibanding peradaban lainya. Francis Fukuyama dalam bukunya the End of History menjelaskan bahwa neofeodalisme tersebut adalah akhir peradaban dimana demokrasi dan kapitalisme adalah akhir-puncak peradaban. Berbeda dengan pendapat Fukuyama, Huntington dengan teorinya benturan peradaban, yang menurut penulis bertujuan akhir kokohnya totaliarisme. Maka kita tidak sepenuhnya salah jika meminjam tesis darinya untuk membaca permasalahan ini. Menurut Huntington dalam clash of civilitation, setidaknya ada enam hal yang menyebabkan benturan antar peradaban. (1) Perbedaan peradaban yang mendasar akan mempengaruhi pandangan tentang relasi manusia-Tuhan, manusia-manusia, manusia-alam. Kemudian interaksi yang berawal dari peradaban yang berbeda juga akan membawa pada perbedaan pentingnya kerabat dalam hal hak dan kewajiban, kebebasan dan otoritas, persamaan dan hirarki.(2) Sensitifitas yang terbentuk karena tingkat intensitas interaksi meningkat. Sensitifitas ini akan membawa kesadaran penuh bahwa memang ada perbedaan peradaban yang nyata. (3) Gerakan fundamentalis keagaamaan yang berasal dari tercerabutnya identitas lokal yang sudah tergerus sistem moderenisasi ekonomi dan perubahan sosial yang terjadi di seluruh belahan dunia. (4) Akan ada dominasi suatu peradaban untu menghegemoni suatu peradaba lainya. Peradaban yang sadar ingin digerus akan melakukan perlawanan lewat pengembangan pengaruh peradabanya terhadap peradaban lainya. (5) Karakteristik budaya barat dan non-barat yang begitu kental perbedaanya, memperjelas sulitnya kompromi antar peradaban. (6) Terbentuknya regionalisme ekonomi yang semakin meningkat. Sementara dalam permasalahan-permasalahan kekuasaan politik kenegaraan, totalitarianisme haruslah dilawan bersama-sama. Pemikiran Hanah Arendt, dalam tulisan Janu Wijayanto, mengingatkan bahwa benih totalitarianisme muncul dari lahirnya rezim korporasi raksasa yang menguasai uang, teknologi, produksi dan pasar diseluruh dunia. Siapapun yang mencoba bersaing-melawan akan dilibas habis. Rezim ini menyedot uang dalam jumlah besar sampai negara-negara (terutama negara berkembang) kehabisan uang dan dipaksa meminjam bantuan kredit. Pinjaman ini disertai syarat berat ; pembebasan tarif dari produk korporasi raksasa tersebut, izin eksploitasi sumber daya alam, swastanisasi perusahaan-perusahaan negara, investasi pabrik untuk memproduksi barang kebutuhan premier, perluasan jaringan mal dan supermarket sampai ke pelosok desa. Dengan begitu korporasi raksasa mendekte pakaian apa yang harus kita pakai, makanan apa yang harus kita makan, kapan kita harus bekerja, kemana kita harus berlibur, berapa gaji kita. Dalam Globalization : Capitalism and Its Alternatives, Sklair (2002) menyatakan bahwa globalisasi kapitalis terdiri dari tiga praktik transnasional. (1). Praktik ekonomi perusahaan-perusahaan transnasional yang mencakup hubungan mereka dalam hubungan sistem produksi dan sirkulasi yang lintas batas. (2). Munculah kelas kapitalis transnasional yang bertindak demi kepentingan bersama dalam memperluas kapitalisme global dan yang praktik-praktik politiknya berupaya mengontrol dan memandu globalisasi melalui partai politik dan badan-badan internasional. Kelas ini terdiri dari 4 bagian, pertama eksekutif perusahaan transnasional (fraksi korporat), para birokrat, politisi negara dan politisi antar negara (fraksi negara), kau profesional global (fraksi teknis) dan terakhir para pedagang dan eksekutif media (fraksi konsumeris). (3). Praktik-praktik konsumerisme ideologi-kebudayaan, yang memanfaatkan media global untuk menciptakan keinginan-keinginan buatan agar dipenuhi melalui konsumsi komoditas. Dalam paradigma marxis, Skalir mengatakan bahwa sistem ini adalah benih pengahancur dirinya sendiri (globalisasi kapitalis). Kemudian munculah gerakan yang melawan akibat globalisasi kapitalis (rusaknya lingkungan, polarisasi kelas sosial) yang menyuarakan HAM, maka globalisasi ini disebut globalisasi sosial. Indonesia sebagai negara penyedia Sumber Daya Alam berlimpah, dan penyedia tenaga kerja usia produktif sampai tahun 2030, semakin membuat posisinya semakin strategis menjadi sasaran. Pertarungan global yang memperebutkan dua hal yang dimiliki Indonesia di atas diperkirakan memuncak pada tahun 2030-2040. Dengan empat aliran besar yanng sedang uji kekuatan dan pengaruh untuk mengontrol penuh dunia, jika Indonesia salah langkah maka merdeka 100% menjadi mimpi di siang hari. Jika salah langkah maka Indonesia hanya meninggalkan pilihan “lebih memilih ingin dijajah oleh siapa?” hanya sebatas itu. Kelompok pertama dalam perebutan tersebut adalah White Anglo Saxon Protestan/Pax Britanica menuju Pax Americana (UKUSA: United Kingdom, United States, Australia, ditambah Kanada & Selandia Baru walau akhir2 ini Selandia Baru merapat ke Uni Eropa). Kedua, Katolik (Pax Romana, semangat kebangkitan bangsa Romawi melalui Uni Eropa). Ketiga, Yahudi (Mengalami diaspora di politik, ekonomi, pengetahuan. Secara formal ada diwakili Negara Israil di Palestina). Terakhir, Konfusius (Shanghai Coorporation Organisation/SCO dikomadani China di timur) Sempat digagas Uni Afrika oleh Moammar Kadafi (Libya) tetapi keburu dihabisi oleh UKUSA, kekuatan Islam yg menonjol tinggal Iran dan Syiria selebihnya justru ditampilkan sebagai teroris. Globalisasi yang tidak memberi kesempatan kita menghindar dari kerangka geopolitik, geoekonomi, geokultur, mengharuskan kita tahu siapa lawan dan kawan kita. Setelah mampu melakukan hal itu, langkah selanjutnya adalah menjalankan “Tri Khidmah PMII”. Pertama menguasai masjid, menguasai Kampus dan menguasai pesantren. Tri khidmah ini tentu diharapkan mampu meredam dan menghalau cengkraman gerakan totalitarianisme untuk mengatur secara absolut kehidupan kita. Sebagai kader PMII, kita tentu harus memahami bahwa Islam harus menjadi patut diperhitungkan dalam kancah pertarungan antar peradan global. Dan kebangkitan Islam haruslah lewat PMII. Sementara kebangkitan Indonesia menurut hemat penulis dimulai saat mahasiswa mampu merubah globalisasi kapitalis menjadi globalisasi sosial. Syaratnya, setiak kader harus terus belajar.

Sampah plastik dan bunuh diri ekologi

* Ahmad Muqsith (Presiden Direktur Kelompok Studi Mahasiswa Walisongo 2015) Jika kita semua menyadari bahwa manusia bukanlah satu-satunya makhluk yang mempunyai karakter, bukan satu-satunya makhluk yang bisa merasa bahagia, sedih dan putus asa., juga bukan satu-satunya makhluk yang bisa mengalami penderitaan, maka kita (manusia) tidak akan pernah menjadi makhluk yang egois. Begitulah kata mutira hasil perenungan ratu pecinta lingkungan, Jane Goodall. Banyaknya masalah ekologi yang dihadapi manusia dewasa ini, membuat penulis ingin mendiskusikan bagaimana cara kita ambil bagian dalam penyelesaian permasalahanya. Masalah ekologi ini harus kita sadari siapa musuh-siapa teman. Kalau boleh meraba permasalahanya, penulis akan menjadikan prilaku sekelompok manusia tidak berwawasan lingkungan menjadi tokoh antagonisnya. Sementara agen perubahan lingkungan yang bersahabat dengan alam adalah tokoh protagonisnya. Penulis ingin mengajak masyarakat berperang melawan sampah plastik. Salah satu bagian terkecil dalam perang ekologi global. North Pacyfic Gyre, adalah kawasan di laut dari gumpalan sampah plastik yang membentuk menjadi pulau-pulau kecil. Bermuara dari sungai ke lautan. Pulau itu terbentuk karena konsumsi plastik dunia sudah mencapai 26 juta ton. Padahal plastik baru bisa terurai dalam interval waktu 80-100 tahunan Para pakar ekologi dan toksikologi biasa menyebut fenomena ini bagian dari ecological suicide. Kebiasaan membuang sampah sembarangan dengan asas “as not on my back yard” adalah rantai pertama dalam bunuh diri ekologi. Sampah plastik di laut terurai menjadi mikro plastik (belum terurai sempurna), termakan ikan laut-ikan dikonsumsi manusia, begitulah contoh kecil yang paling sederhana dari rantai ecologycal suicide secara tidak sengaja manusia memakan plastik. Menyebarkan Virus 4R dan 5M Menurut pakar toksikologi, Budi W (Rektor Unika), salah satu penyakit manusia adalah menganggap semua masalah bisa diselesaikan dengan teknologi. Sampah plastik misalnya, teknologi coba menyelesaikanya dengan membuat pengurangan berat botol minuman air mineral. Namun tidak selamanya teknologi mampu menyelesaikanya. Maka Fachruddin Mangunwijaya, anggota forum Konservasi Internasional mensosialisasikan gerakan Empat R khusus untuk masalah sampah plastik. Pertama adalah reuse. Selama masih bisa digunakan kembali kita tidak usah membuang plastik. Prinsip ini memungkinkan kita menggunakan ulang plastik yang belum rusak. Kedua adalah reduse. Asas kedua menekankan pada pengurangan penggunaan. Selama barang belanjaan tidak membutuhkan plastik maka kita tidak usah meminta plastik ke pedagang. Keranjang belanja ramah lingkungan harus menjadi trend pengganti kantong plastik. Ketiga adalah recycle, daur ulang adalah prinsip yang memungkinkan terbukanya lapangan kerja ekonomi kreatif. Sampah plastik bisa dijadikan sebagai komoditas pasar yang unik oleh wirausaha rumahan. Terakhir adalah rethinking, kita harus berpikir ulang, apakah benar-benar membutuhkan plastik saat berbelanja atau tidak. Walaupun banyak pusat perbelanjaan yang menawarkan kantong plastik atau kertas ramah lingkungan. Saat Empat R sudah dipahami maka gerakan ke dua adalah Lima M. (1)Mulai dari diri sendiri, setiap perubahan apapun tidak mungkin berhasil jika tidak dimulai dari diri sendiri. (2) Mulai dari sekarang, jadikan sebuah kebiasaan dan sebarkan virusnya. (3) Memulai dari hal terkecil, misal, sedia tempat air mineral untuk menghindari membeli air kemasan botol. (4) Mulai dengan sungguh-sungguh, tahap ini memahami langkah penanganan sampah plastik sudah menjadi prinsip. (5) Mulailah dengan istiqamah (berkelanjuta. Jika hal ini mau dicoba tentu prakteknya tak semudah membaca tulisan ini. Butuh kesadaran dan prinsip yang kuat. Pendekatan Agama Permasalahan ekologi harus diselesaikan dengan berbagai pendekatan. Pendekatan ekonomi, sosiologi bahkan pendekatan agama. Berbicara konteks pendekatan agama, berarti kita sudah siap menggunakan agama untuk kemanusiaan bukan lagi kemanusiaan untuk agama. Agama sudah tidak harus melulu membincangkan masalah eskatologi. Dalam Islam misalnya, adanya kajian Fiqih lingkungan menandakan bahwa agamapun sudah terdesak untuk ikut campur semakin dalam di permasalahan ini. Pendekatan agama melalui tokoh agama-agama adalah hal yang paling memungkinkan dilakukan masyarakat Indonesia. Khotbah di tempat peribadatan sudah saatnya mulai menghimbau umat untuk kembali menjaga lingkungan. Reinterpretasi konsep Khalifah fil ard dan knowledge is power tidak lagi diperkenankan untuk menjadikan alam dieksplorasi sesuka hati oleh manusia. Harus ada ceramah-ceramah yang menggeser paham antroposentris yang merajakan manuisa kembali pada paham bahwa manusia dan alam adalah sahabat. Puncak peribadatan harus menyentuh perawatan alam. Kalau bisa, semua upaya harus dilakukan untuk mencegah ecological suicide, kalau hal itu dikatakan tidak mungkin, setidaknya kita harus menghambat bunuh diri tersebut.

Krisis Perpolitikan Indonesia

Ahmad Muqsith (Presiden Direktur Kelompok Studi Mahasiswa Walisongo 2015) Menurut Mahatma Ghandi, 90 % penduduk India pasca merdeka tidak perlu-membutuhkan campur tangan pemerintah. Sementara 10 % sisa rakyat yang membutuhkan campur tangan pemerintah adalah, 5% teratas pedagang yang kikir, para penimbun, pelaku kartel dan pedagang pasar gelap, serta 5% dibawahnya adalah rakyat kecil yang terdiri dari pencuri biasa, para pembunuh dan anggota-anggota gengster. Sementara 90% rakyat lainya mampu mengelola urusan mereka sendiri di desa-desa. Semua itu karena pada dasarnya mereka terdiri dari lelaki dan perempuan yang shaleh dan pemelihara tradisi kebijakan, pemelihara tradisi agama dan moralitas India. Bagi Ghandi kehidupan 90 % penduduk India tadi akan lebih damai jika tetap tidak ada campur tangan pemerintah dalam kehidupanya. Melihat ketegasan Ghandi, penulis refleksikan untuk menanyakan apa dan seberapa penting peran negara untuk rakyatnya? Karena pernyataan Ghandi secara eksplisit menegaskan bahwa sebenarnya rakyat tidak terlalu membutuhkan pemerintah. Sebaliknya, pemerintahlah yang sangat membutuhkan rakyat. Faktanya, dalam sistem kenegaraan modern pemerintah menjadi hal yang sangat penting bagi keberlangsungan kehidupan suatu kelompok masyarakat. Pemerintah mengatur sistem politik, sosial, ekonomi, pendidikan dan hal lainya. Harga sembako yang sebenarnya akan dihasilkan sendiri oleh sistem alamiah perdagangan tak luput dari campur tangan pemerintah melalui mekanismenya. Kehadiran Negara untuk Rakyat Sementara John Locke mengatakan pemerintah (negara) adalah konsensus bersama yang diamanati menjaga hak alamiah masyarakat yang tinggal di suatu wilayah tertentu. Pemerintah tidak punya kuasa absolut dan sewenang-wenang. Kuasanya terbatas. Negara diberi tugas oleh konsesnsus masyarakat yang membentuknya untuk melakukan reparation, dalam arti memperbaiki apa yang tidak baik dan menghukum mereka yang melanggar. Tugas lain dari negara adalah resistant, mencegah segala tindakan yang dikhawatirkan menimbulkan kejahatan (melanggar hukum/hak alamiah manusia). Tujuan negara hanya sebatas menjaga hak alamiah manusia yang ada di dalam wilayahnya. Karena tujuanya menjaga hak alamiah masyarakat yang yang berada di wilayah state of nature, jika negara gagal menjalankan apa yang diamanahkan masyarakat kepadanya, sebenarnya kehadiran negara dalam keadaan seperti itu sudah tidak dibutuhkan lagi. Penulis beranggapan bahwa kehadiran Indonesia sebagai sebuah pemerintahan tidak dibutuhkan lagi oleh rakyatnya. Indonesia sebagai negara kesatuanlah yang rakyat harapkan. Berbagai akumulasi permasalahan-kebanyakan permasalahan politik-membuat pemerintah semakin menjadi asing bagi rakyatnya. Pelanggaran-pelanggaran hak alamiah yang dilakukan pemerintah kepada rakyat secara simultan membuat Indonesia sebagai negara mengalami krisis nasional. Menurut Hatta, krisis ini dapat diatasi dengan memberikan kepada negara seorang pimpinan yang dipercayai oleh rakyat. Karena krisis ini adalah krisis demokrasi, perlulah hidup politik diperbaiki. Partai-partai harus mengindahkan dasar-dasar moral dalam segala tindakanya. Krisis Nasional Melihat perpolitikan Indonesia rasanya tidak ada alasan untuk tidak membenarkan pendapat bapak proklamator kita. Permasalahan yang berkelindan tidaklah jauh dari masalah “pemimpin” yang dipercayai rakyat. Konspirasi, hukum besi oligarki yang berputar di lingkaran elit politik, korupsi, penyalahgunaan wewenang, merampas semua kepercayaan rakyat pada pemimpinya. Politik Indonesia masih politik ala Machiaveli, yang menghalalkan segala cara untuk mencapai tujuan kelompok. Lakon politik Indonesia ala Machiaveli ini sudah tidak lagi mempedulikan zeitgeist di Itali tempo itu, politik Indonesia menggelinding terlalu jauh dari tempat pertama Plato menjatuhkanya di titik bernamavirtue. Perangkat peraturan dan aparat gagal melaksanakan solusi yang digagas Hatta untuk menjawab krisis nasional ini. Pemimpin pemerintahan tidak bisa dipercaya. Semakin jauh keadilan sosial yang diamanahkan UUD untuk diwujudkan. Carut marut permasalahan Komisi Pemberantasan Korupsi dan Polisi Republik Indonesia menambah luka-derita rakyat. Semakin jelas bahwa terlalu banyak kepentingan banyak pihak dalam kasus ini, jelas kepentingan tersebut bukanlah untuk kepentingan rakyat. Dualisme kepemimpinan di beberapa Partai Politik juga mewarnai krisis nasional perpolitikan Indonesia. Krisis ini membelokan tujuan politik yang seharusnya menjadikan kekuasaan mengelola tujuan-kepentingan khalayak umum menjadi money oriented. Krisis nasional yang akar permasalahanya didominasi masalah politik membenarkan tesis Hobes, ”manusia adalah srigala bagi srigala lainya”. Lembaga negara yang menjadi tumpuan pemenuhan kesejahteraan sosial rakyat akhirnya saling bunuh. Kepentingan kelompok menjadi kunci. Politikus sudah tidak paham arti “kemaslahatan umat”. Krisis akan selesai saat para pemimpin mulai sadar untuk menjadi layak “dipercayai” (lagi) oleh rakyat. Apapun caranya.

Struktur Organisasi UKMU KSMW 2015

Dewan Pelindung :Prof. Dr. H. Muhibbin, M.Ag Dewan Pembina : Dr. H. Musahadi, M.Ag : Dr. H. Ruswan, M.A : Dr. H. M. Darori Amin, M.Ag Dewan Pendamping : Prof. Dr. H. Abdullah Hadziq, M.Ag : Prof. Dr. Ahmad Rofiq, M.Ag : DR. H. Abu Hapsin, Ph.D : DR. H. Sholihan, M.Ag : DR. H. Mukhsin Jamil, M.Ag : Dr. Moh Fauzi, M.Ag : Dr. Hj. Fatimah Ustman, M.Ag : DR. H. Imam Taufiq, M.Ag : Dr. Ilyas Supena, M.Ag : Dr. H. M. Nafis, M.Ag : DR. H. Muchyar Fanani, M.Ag : DR. Masrukhan, M.Ag : DR. Yudhie Haryono, M.Ag : Dr. Zainul Adzvar, M.Ag : Prof. Asoka Siahaan, M.Fil : Ahmad Fauzi, S.Fil.I : Dr. Tedy Kholiluddin, S.HI : DR. Imam Fadilah, : Rusmadi H. S.Th.I, M.Si : Hijriah, S.Pd.I ` : Yayan Royani, S.HI : Heri Aslam Wahid, S.HI Dewan Penasehat : Abdur Rahman : Rohwan : Ahmad Shilahuddin : Nasrul Umam :Ali Masykur : Ahmad Fuadi : Yudi Elvas : Sofa Hasan Rektor Emiretus : Abdala Badri : Khoirul Anam : Ahmad Tajuddin, S.Th.I : Ahmad Munji, S.Psi.I : Adib Khoirul Rouf Dewan Ahli : M. Zainal Abidin : Zaimuddin : Gigih Firmansyah : M. Sabiq : Shofiyul Burhan : Muhajirin :Susi Kurniati : M. Lutfi Maulana : Antiani : Semi Rahayu   Presiden Direktur : Ahmad Muqsith (114311002) Sekertaris Jendral : M.Afit Khomsani (134411021) Bendahara Utama : Muhammad Baihaqi (131411012) Direktorat Jendral Pendidikan Kritis Direktur : Siti Fitriyatul Maria Ulfa (134311018) Sekertaris :Puji Rahmawati (133311047) Anggota : Ahmad Syaifuddin (124111007) Anggota :M. Abu Fadlol (124211069) Anggota : Hanif alfajry (134111017) Anggota : M. Shohfan Zaim (134111023) Angggota : M. Ainun Najih (121311024) Anggota : Bima Sakti (133611026) Direktorat Perhubungan Sosial Direktur : Moh. Misbachul Munir (134111001) Sekertaris : Susi Susanti (134111023) Anggota :Yor Hananta (124211046) Anggota :Khozainul Ulum (122311055) Anggota : Sulistiyo H (134411007) Anggota : M. Yazid Masdar (132311032) Anggota :Ahmad Mutohar (134411006) Anggota :Rahmat (132411029) Direktorat Pekerjaan Umum Direktur :Ahmad. Alfian (134411007) Anggota : Taufiqurrahman (134211019) Anggota : M. Dzikron (12441108)

Indonesia dan Masyarakat Produsen

*Ahmad Muqsith (Presiden Direktur KSMW 205) Memajukan bangsa besar yang punya sumber daya manusia dan sumber daya alam, harus dengan mentransformasikan budaya masyarakat konsumtif menjadi masyarakat produktif. Masyarakat produktif akan menciptakan seluruh kebutuhan masyarakatnya sendiri. Transformasi budaya tersebut hemat penulis harus dimulai dari bidang penelitian. Lihat saja barang seperti HP, motor atau barang elektronik lainya, berapa yang hasil dari produksi lokal? Memajukan penelitian untuk mengembangkan inovasi menyambut pasar bebas darurat untuk segera dilaksanakan. Tidak ada penelitian, tidak ada inovasi, tidak ada pengembanngan kreatifitas, sama dengan menciptakan masyarakat konsumtif. Usaha menciptakan masyarakat produktif tidak bisa sekedar dari angka-angka, missal hanya dari naiknya angka APBN untuk pendidikan (bukan kwalitas pengelolaanya yang naik), angka investasi asing dan utang luar negeri yang naik(yang jamak dilakukan Negara berkembang). Menciptakan masyarakat produktif menjadikan “basis penelitian berkualitas” menjadi pra syaratnya. Kementerian Riset dan Teknologi-lembaga pemerintahan nir kementerian yang juga memmbidangi hal yang sama-selama ini tersubordinasi dari perhatian pemerintah, lihat saja anggaran yang dialokasikan. Pemerintah harus merubah paradigma untuk lebih meperhatikan sekelumit permasalahan mendasar dunia penelitian. Setidaknya pemisahan kementerian hasil desakan Forum Rektor Indonesia tadi penulis anggap sebagai angin segar-harapan besar dunia penelitian. Sebagai world citizen (warga dunia) kita harus menerima resiko untuk menyambut Masyarakat Ekonomi Asia (MIA). Negara yang mempunyai inovasi lebih unggul buah dari kemajuan penelitian akan muncul menjadi pemenang. Bangsa yang akan menjadi pemenang adalah masyarakat yang mampu menciptakan kebutuhan untuk dirinya sendiri terlebih dahulu. Indonesia? Pengembangan dari dunia penelitianya saja masih membuat masyarakatnya terjebak pada buah-buahan hasil import. Syarat mutlak pendorong kemajuan ilmu pengetahuan dan pengembangan teknologi adalah stabilitas politik. Mungkin hal tersebut yang membedakan bangsa ini dengan Malaisya dan Singapura. Menjadi hal yang sangat berbahaya jika ilmu pengetahuan juga ikut-ikutan dipolitisir. Selain stabillitas politik, masalah kelasik dari bidang penelitan adalah anggaran. Jika Indonesia hanya mendapat anggaran 0,08 % dari Produk Domestik Bruto (PDB), maka wajar Malaisya dan Singapura mampu maju lebih progresif Ilmu pengetahuanan, riset dan teknologinya, karena mereka mendapat anggaran 1-2% dari (PDB). Berharap dengan Dua Gerakan Berharap dalam Kamus Bahasa Indonesia diartikan sebagai keinginan akan terjadinya sesuatu. Lantas harus berharap apa kepada Indonesia dan pantas mengharap apa Indonesia ini? Pertanyaan ini akan membawa kita pada dua dimensi, idealisme dengan realisme. Idealnya Indonesia dengan bonus demografinya yang luar bisa harus mampu beradaptasi dengan iklim globalisasi-pasar bebas. Realitanya, jika ingin menyambut perdagangan bebas, bonus demografi sebagai negara penyedia tenaga kerja usia produktif terbanyak di dunia harus bisa dimanfaatkan. Dengan realita sistem pendidikan sekarang, jangankan pengembangan ilmu pengetahuan untuk memajukan penelitian dan membuat pengabdian ke mastarakat terwujud, karakter (salah satunya konsumtif) masyarakat (bahkan mahasiswa) Indonesia saja belum selesai tergarap. Globalisasi membuat supermasi organisasi multilateral mengkampanyekan perdagangan bebas-perluasan pasar. Dunia kerja yang telah terstruktur dalam dimensi kapitalisme akhirnya mengurung masyarakat Indonesia dengan virus “konsumtif” yang tersebar secara halus. Maka gerakan pertama yang masuk cetak biru adalah menjadikan masyarakat kita menjadi masyarakat produsen. Harapan penulis tentu produsen yang berbasis pengembangan ilmu pengetahuan dan penelitian. Misal, buah-buahan import harus ditekan dengan hasil pengembangan rekayasa genetika buah lokal. Hal ini hanya mungkin jika pendidikan dan penelitian terurus secara benar. Gerakan kedua adalah cinta produk dalam negeri. Saat gerakan pertama terselesaikan dan menghasilkan kualitas produk kita sama dengan kualitas produk import, cinta produk dalam negerilah yang menentukan produk mana yang akan dibeli. Jika ingin belajar dari sejarah, maka swadesi dari Mahatma Ghandi harus kita praktekan. Menurut Ghandi kita tidak mungkin membeli produk import tanpa izin dari diri kita sendiri untuk mencintai produk tersebut. Swadesi mampu membuat produsen luar negeri gulung tikar. Gerakan pertama dan kedua ini sangatlah selaras, tidak mungkin kita mengkampanyekan cinta produk dalam negeri jika kualitas yang tersedia tidak memenuhi standar umum. Mengkampanyekan produk dalam negeri dengan kualitas rendah adalah perampokan halus hak konsumen. Sebagai bangsa yang mempunyai “potensi” besar, penulis berharap dua gerakan ini mampu menguatkan kaki Indonesia untuk mampu berdiri gagah di era globalisasi. Lantas mengharap apa Indonesia ini? Indonesia sangat pantas sepantas-pantasnya mengharap harapan terbaik untuk dirinya, karena penulis tidak melihat ada sesuatu yang lebih besar dibandingkan dirinya.

Wisuda dan Pseudo Gelar Sarjananya

Sekitar 1.100-an mahasiswa Universitas Islam Negeri Walisongo 29 Januari kemarin diwisuda. Wisuda bagi mahasiswa sama seperti dengan arti sebuah kemerdekaan untuk negara yang terjajah. Persamanaya adalah sama-sama “hanya” sebatas pengantar menuju gerbang emas. Lantas apakah wisuda jaminan peningkatan kehidupan sosial yang lebih baik? Wisuda adalah gerbang dimana seseorang akan bertemu jalan bercabang dua. Jalan menuju strata jenjang pendidikan yang lebih tinggi atau jalan merintis karir sebagai pekerja. Penulis hanya mau menanyakan apakah lapangan pekerjaan yang tersedia mampu menyerap semua wisudawan? Rasio diantara ketersedian pekerja dan lapangan pekerjaan tidak seimbang. Pembukaan prodi besar-besaran yang dilakukan beberapa Perguruan Tinggi juga menambah permasalahan. Pasar belum siap menyerap lulusan di beberapa jurusan baru tersebut. Pengangguran dengan label sarjana bukanlah hal asing di negeri ini. Investasi asing yang future orientred membuat Indonesia dengan bonus demografi pekerja usia produktif tinggi menjadi negara sasaran. Investor tergila-gila ingin menanamkan modalnya dalam segala bidang. Menurut Faisal Basri hal ini karena sampai 2030 Indonesia mempunyai angka pekerja usia produktif melebihi negara-negara lainya. Hal ini berbanding terbalik dengan negara Asia seperti Jepang ataupun Korea Selatan. Banyak pengamat politik mengatakan hal ini adalah sebuah bonus demografi. Bonus demografi? Keunggulan dalam demografi ini bisakah disebut bonus? Tidak sepenuhnya bisa di benarkan, pun tak bisa juga sepenuhnya disalahkan. Tidak benar karena usia produktif dengan jumlah puluhan juta tidak di imbangi jumlah lapangan kerja yang layak. Tidak lebih dari separuh usia produktif (termasuk yang baru diwisuda) yang akan mampu terserap menjadi pekerja, selebihnya tetap “nganggur” jika tidak kreatif. Jika tidak kreatif tetapi punya modal nekat mereka malah menjadi Tenaga Kerja Indonesia (TKI) ke negara-negara Asia. Pembelaan yang berlindung pada term “sumber devisa” oleh pemerintahan selama ini patut dikoreksi ulang. Padahal jelas dalam Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 27 ayat 2, dijelaskan bahwa tiap warga negara Indonesia sebenarnya dijamin haknya untuk mendapat pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan. Jika yang tersedia hanya sebagai buruh dan amanah UUD pasal 27 ini (penghidupan yang layak) hanya bisa dicapai seseorang hanya jika ia menjadi TKI, apakah negara yang memang mengurusi hal itu lewat Kementransker sudah bisa dikatakan menyediakan hak bagi warganya? Saya rasa tidak sepenuhnya begitu, karena negara besar tidak ada yang bangga dengan status buruh warganya. Menurut Ken Schooland era otomasi memang mengharuskan adanya efisiensi tenaga kerja karena tenaga manusia sudah tergantikan mesin. Penghematan biaya produksi dari otomasi harus dicermati dengan penggantian segera lapangan pekerjaan yang hilang karena otomasi tadi. Penghidupan layak yang berbasis pada ketersediaan lapangan kerja harus dicarikan solusi pemerintah dan-bahkan Perguruan Tinggi. Pemerintah berkewajiban karena selaku pengemban amanat konstitusi. Meskipun kuliah bukan hanya berorientasi pada pekerjaan, Perguruan Tinggi juga wajib berperan ganda seperti Balai Pelatihan Tenaga Kerja sementara. Wisudawan dan Filsafat Vitalisme Mitos “bonus” demografi akan selamanya menjadi mitos jika tenaga kerja usia produktifnya tidak kreatif. Apalagi pemerintahanya tetap bangga dengan “sumber devisa” besar yang diperoleh warganya yang menjadi buruh di negeri orang tanpa ada usaha menghentikan trend tersebut. Lagi-lagi, bonus demografi benar-benar menjadi bonus bagi investor asing belaka. Keterbatasan lapangan pekerjaan yang dikelilingi investasi asing besar-besaran, umumnya menciptakan tenaga kerja yang bekerja tidak sesuai bidangnya (bagi yang bergelar sarjana). Meskipun mereka tetap bekerja, salah satu tujuan mereka kuliah (meningkatkan kwalitas kehidupan sosial) akan terbentur fakta lapangan bahwa kwalitas kehidupan sosial mereka sama dengan orang yang tidak kuliah, yang tidak bergelar sarjana dan tanpa pernah diwisuda. Semua orang ingin menempuh kehidupan yang layak, ketika negara yang diamanahi untuk melakukan tugas tersebut kelihatanya tidak mampu, maka kita harus mempunyai elan vital yang tangguh untuk mewujudkanya sendiri. Elan vital adalah Istilah yang dipopulerkan filsuf Henri Bergson. Ia menyatakan bahwa kehidupan manusia ditentukan oleh daya hidupnya, keinginan untuk hidup lebih baik. Daya dorong yang membuat manusia selalu mampu mengatasi semua permasalahnya. Maka tempahan proses selama perkuliahan saya rasa akan menjadi salah satu faktor pembeda nasib antara mahasiswa satu dengan mahasiswa lainya. Mahasiswa yang sudah terbiasa berproses dalam organisasi misalnya, mereka akan mempunyai elan vital yang lebih hebat daripada mahasiswa biasa. Maka sangat menarik jika ribuaan wisudawan tadi mengenal lebih jauh filsafat vitalisme untuk menyiapkan daya hidup menyambut kehidupan di dunia nyata yang penuh dengan tantangan. (Ahmad Muqsith : Presiden Direktur KSMW 2015)

Islam dan Benturan Peradaban

Tokoh kontroversi Samuel Huntington, dengan bukunya “The Clash of Cicilizations and The Remaking of World Order”, menjadi pembicaran yang hangat “lagi” akhir-akhir ini. Bagaimana tidak, hal itu karena beberapa kajianya dalam proyeksi benturan peradaban dimana Konfusius dan Islam diramalkanakan vis a vis dengan barat dan Amerika (Demokrasi dan kapitalisme). Banyak hal yang potensial sekali menghidupkan kembali sejarah benturtan-benturan peradaban yang memang sudah menyejarah. Percikan yang muncul ke permukaan baru-baru ini adalah kasus Carly Hebdo, Paris, Francis. Bisa saja yang pro majalah satiretersebut menganggap gambar Nabi Muhammad hal yang wajar, bahkan semakin wajar toh di agama lain tokoh agamanya (nabi) juga digambar. Dasar kebebasan yang digunakan tentu saja tidaklah cukup. Bahkan kalau melihat sejarah panjang cikal bakal benturan peradaban masalah tersebut. Ekspansi agama, perang salib, dan sejarah lainya membuat kebebasan yang dipakai untuk dasar menerbitkan majalah tersebut akhirnya membentur kebebasan (peradaban) lainya. Menurut Huntington, dengan adanya proses moderinisasi ekonomi dan perubahan sosial di seluruh dunia telah mengakibatkan tercerabutnya masyarakat dari akar-akar identitas lokal yang telah berlangsung lama. Ketercerabutan ini menyisakan ruang kosong yang kemudian diisi oleh identitas agama, seringkali dalam gerakan keagamaan ini berlabelkan “fundamentalis”. Gerakan fundamentalis di Francis kemarin tentu membuat kita sulit menolak tesis dari Huntington. Walaupun dalam perspektif Hak Asasi Manusia (HAM) pembuatan majalah tersebut tidak sepenuhnya dapat dibenarkan, pembunuhan yang dilakukan dua bersaudara teroris tersebut menunjukan bahwa kesadaran akan interaksi antar peradaban yang berbeda semakin meningkat, akan membuat ke”aku”an terhadap peradaban sendiri menjadi sangat sensitif dengan peradaban orang lain. Gerakan Ekstrimis Islam Gerakan sekulerisasi barat tersebut akhirnya berbenturan dengan puritan (ekstrimis) Islam. Puritan (Ekstrimis) ini penulis batasi dengan devinisi dalam makalah yang disampaikan Muhyar Fanani, Dosen Fakultas Ushuluddin UIN Walisongo, dalam diskusi “Gerakan Ekstrimis Islam”, dia mengutip dari Khaled Abou el-Fadhl dalam buku Mahmood Mamdani “Good Muslim, Bad Muslim”, yang mengnggap istilah puritan lebih cocok bila digunakan untuk menunjuk kelompok ekstrem yang cenderung reduksionis-fanatis dan literalis-kolot (narrow-minded literalism). Gerakan jihad kaum ekstrimis yang pandanganya absolut pada Islam semata, sebenarnya sangatlah sedikit jumlahnya. Meskipun sedikit, gerakanya yang liar dan berkelanjutan menjadaikanya representasi wajah Islam bagi dunia.Sementara umat Islam mayoritas menurut Khaled sebenarnya adalah keompok moderat, yang cenderung akomodatif dan dinamis berinteraksi dengan peradaban lain. Kelompok mayoritas yang secara sosiologis dan intelektual membuat kelompok puritan tetap berada dalam batas masyarakat Islam pinggiran, sayangnya adalah kelompok mayoritas yang diam. Sehingga dunia sudah terlanjur kenal Islam sebagai Islam yang liar. Menurut penulis inilah yang akan menyulitkan Islam dalam benturan peradaban di masa depan. Lantas apa risaunya jika ada potensi benturan peradaban yang sudah sesuai zeitgeist tersebut? Bisa saja kita tidak perlu khawatir karena konflik-benturan peradaban memang suatu yang alamiah. Tapi, bisa juga kita harus khawatir, mengingat Indonesia mayoritas penduduknya beragama Islam. Bahkan menurut penulis, selain suatu kewajaran sebuah negara yang dituntut melindungi nyawa setiap warga negaranya, kasus hukum mati tersangka narkoba juga merupakan sebuah benturan peradaban. Barat yang gencar mengkampanyekan HAM terbukti dibenturkan dengan restu Ormas besar Islam yang mendukung hukuman mati.Benturan peradaban tak bisa dihindarkan. Mayoritas yang Diam Seperti yang penulis tuliskan diawal, sebagai negara dengan mayoritas penduduknya Islam, Indonesia harus cepat-pintar merespon. Karena Huntington juga menjelaskan bahwa benturan peradaban akan memunculkan gerakan puritanisme Islam, maka umat Islam Indonesia yang ingin menjadi umat yang baik harus paham, “to be good muslim is to be godd indonesian”. Langkah pertamanya adalah membuat kelompok mayoritas yang moderat bergerak menggantikan gerakan-wajah puritanisme. Jika kelompok mayoritas gagal merespon secara cepat-pintar, interaksi peradaban antara Islam dengan kelompok lainya, dalam bahasa sosiologi konflik, akan masuk dalam wilayah yang disebut “potensi sumbu pendek”. Jangan samapi gerakan Islam di Indonesia dikenal sebagai peradaban yang kikuk dalam berinteraksi dengan peradaban yang lain. Bukankah Gus Dur sudah mengajarkan bahwa Indonesia membutuhkan Islam ramah, bukanya Islam marah? Bisa penulis katakan bahwa umat mayoritas Islam yang moderat ini mempunyai peran penting dalam stabilitas nasional Indonesia, peran itu hanya menyaratkan satu hal, masyarakat Islam moderat yang mayoritas jangan sampai menjadi mayoritas yang diam. (Ahmad Muqsith : Presiden Direktur KSMW 2015)