Subscribe For Free Updates!

We'll not spam mate! We promise.

2015/03/17

Islam dan Benturan Peradaban

Tokoh kontroversi Samuel Huntington, dengan bukunya “The Clash of Cicilizations and The Remaking of World Order”, menjadi pembicaran yang hangat “lagi” akhir-akhir ini. Bagaimana tidak, hal itu karena beberapa kajianya dalam proyeksi benturan peradaban dimana Konfusius dan Islam diramalkanakan vis a vis dengan barat dan Amerika (Demokrasi dan kapitalisme). Banyak hal yang potensial sekali menghidupkan kembali sejarah benturtan-benturan peradaban yang memang sudah menyejarah. Percikan yang muncul ke permukaan baru-baru ini adalah kasus Carly Hebdo, Paris, Francis. Bisa saja yang pro majalah satiretersebut menganggap gambar Nabi Muhammad hal yang wajar, bahkan semakin wajar toh di agama lain tokoh agamanya (nabi) juga digambar. Dasar kebebasan yang digunakan tentu saja tidaklah cukup. Bahkan kalau melihat sejarah panjang cikal bakal benturan peradaban masalah tersebut. Ekspansi agama, perang salib, dan sejarah lainya membuat kebebasan yang dipakai untuk dasar menerbitkan majalah tersebut akhirnya membentur kebebasan (peradaban) lainya. Menurut Huntington, dengan adanya proses moderinisasi ekonomi dan perubahan sosial di seluruh dunia telah mengakibatkan tercerabutnya masyarakat dari akar-akar identitas lokal yang telah berlangsung lama. Ketercerabutan ini menyisakan ruang kosong yang kemudian diisi oleh identitas agama, seringkali dalam gerakan keagamaan ini berlabelkan “fundamentalis”. Gerakan fundamentalis di Francis kemarin tentu membuat kita sulit menolak tesis dari Huntington. Walaupun dalam perspektif Hak Asasi Manusia (HAM) pembuatan majalah tersebut tidak sepenuhnya dapat dibenarkan, pembunuhan yang dilakukan dua bersaudara teroris tersebut menunjukan bahwa kesadaran akan interaksi antar peradaban yang berbeda semakin meningkat, akan membuat ke”aku”an terhadap peradaban sendiri menjadi sangat sensitif dengan peradaban orang lain. Gerakan Ekstrimis Islam Gerakan sekulerisasi barat tersebut akhirnya berbenturan dengan puritan (ekstrimis) Islam. Puritan (Ekstrimis) ini penulis batasi dengan devinisi dalam makalah yang disampaikan Muhyar Fanani, Dosen Fakultas Ushuluddin UIN Walisongo, dalam diskusi “Gerakan Ekstrimis Islam”, dia mengutip dari Khaled Abou el-Fadhl dalam buku Mahmood Mamdani “Good Muslim, Bad Muslim”, yang mengnggap istilah puritan lebih cocok bila digunakan untuk menunjuk kelompok ekstrem yang cenderung reduksionis-fanatis dan literalis-kolot (narrow-minded literalism). Gerakan jihad kaum ekstrimis yang pandanganya absolut pada Islam semata, sebenarnya sangatlah sedikit jumlahnya. Meskipun sedikit, gerakanya yang liar dan berkelanjutan menjadaikanya representasi wajah Islam bagi dunia.Sementara umat Islam mayoritas menurut Khaled sebenarnya adalah keompok moderat, yang cenderung akomodatif dan dinamis berinteraksi dengan peradaban lain. Kelompok mayoritas yang secara sosiologis dan intelektual membuat kelompok puritan tetap berada dalam batas masyarakat Islam pinggiran, sayangnya adalah kelompok mayoritas yang diam. Sehingga dunia sudah terlanjur kenal Islam sebagai Islam yang liar. Menurut penulis inilah yang akan menyulitkan Islam dalam benturan peradaban di masa depan. Lantas apa risaunya jika ada potensi benturan peradaban yang sudah sesuai zeitgeist tersebut? Bisa saja kita tidak perlu khawatir karena konflik-benturan peradaban memang suatu yang alamiah. Tapi, bisa juga kita harus khawatir, mengingat Indonesia mayoritas penduduknya beragama Islam. Bahkan menurut penulis, selain suatu kewajaran sebuah negara yang dituntut melindungi nyawa setiap warga negaranya, kasus hukum mati tersangka narkoba juga merupakan sebuah benturan peradaban. Barat yang gencar mengkampanyekan HAM terbukti dibenturkan dengan restu Ormas besar Islam yang mendukung hukuman mati.Benturan peradaban tak bisa dihindarkan. Mayoritas yang Diam Seperti yang penulis tuliskan diawal, sebagai negara dengan mayoritas penduduknya Islam, Indonesia harus cepat-pintar merespon. Karena Huntington juga menjelaskan bahwa benturan peradaban akan memunculkan gerakan puritanisme Islam, maka umat Islam Indonesia yang ingin menjadi umat yang baik harus paham, “to be good muslim is to be godd indonesian”. Langkah pertamanya adalah membuat kelompok mayoritas yang moderat bergerak menggantikan gerakan-wajah puritanisme. Jika kelompok mayoritas gagal merespon secara cepat-pintar, interaksi peradaban antara Islam dengan kelompok lainya, dalam bahasa sosiologi konflik, akan masuk dalam wilayah yang disebut “potensi sumbu pendek”. Jangan samapi gerakan Islam di Indonesia dikenal sebagai peradaban yang kikuk dalam berinteraksi dengan peradaban yang lain. Bukankah Gus Dur sudah mengajarkan bahwa Indonesia membutuhkan Islam ramah, bukanya Islam marah? Bisa penulis katakan bahwa umat mayoritas Islam yang moderat ini mempunyai peran penting dalam stabilitas nasional Indonesia, peran itu hanya menyaratkan satu hal, masyarakat Islam moderat yang mayoritas jangan sampai menjadi mayoritas yang diam. (Ahmad Muqsith : Presiden Direktur KSMW 2015)

Socializer Widget By Blogger Yard
SOCIALIZE IT →
FOLLOW US →
SHARE IT →

0 komentar:

Posting Komentar