Subscribe For Free Updates!

We'll not spam mate! We promise.

2015/03/29

Hentikan Para Eskapis!

*Ahmad Muqsith (Presiden Direktur Kelompok Studi Mahasiswa Walisongo 2015) Banyak studi agama memaparkan alasan-alasan kenapa manusia mencari Tuhan dan menciptakan agama. Mulai dari ketidakmampuan manusia menaklukan kekuatan alam, sehingga mereka harus meminta bantuan kepada sesuatu yang supranatural dan berkekuatan besar, yang pada akhirnya sesuatu itu menjadi “Tuhan”. Ritus-ritus untuk menyembah Tuhan kemudian terorganisir menjadi agama. Beragam ritual diciptakan manusia agar yang supranatural membantu menaklukan alam disaat mereka mulai hidup dengan cara bertani. Meminta hujan misalnya. Dengan pendekatan seperti yang sering diceritakan E.B Tylor, manuisa percaya jika ritual itu dilakukan secara benar Tuhan akan membantu mereka mengatur angin, menurunkan hujan, memindahkan badai dan seterusnya. Mereka berlindung pada suatu kekuatan besar agar ketakutanya pada keganasan alam teratasi. Jika diamati, proses pemilihan Presiden sebenarnya mirip studi agama diatas. Di tengah kekuatan alam yang begitu dahsyat mengancam keberlangsungan hidup manusia, seperti pasar bebas tanpa keterampilan profesionalitas pekerja, sempitnya lapangan pekerjaan ditengah bonus demografi, tingginya biaya hidup disusul inflasi hebat, membuat manusia pada umumnya merasakan ketakutan yang luar biasa. Maka memlih Presiden (tuhan) yang tepat dengan potensi super power yang dimiliki, mereka berharap nanti tuhan ini bisa menyelamatkanya dari keganasan alam. Ritualnya adalah pemilu, kampanye-kampanye, penggalangan masa. Ibadah ini bersiklus 5 tahunan sekali. Bahkan sejak 2005 (pilkada langsung) dan 2009 (pileg langsung) hampir mirip teori The Origin of The Idea of God milik Wilhelm Schmidt. Saat monoteisme primitif awal menunjukan manusia hanya menyembah satu Tuhan, sama dengan sekarang, pada awalnya hanya percaya bahwa presidenlah yang akan menjadi pembeda nasib mereka. Sesuai teori Schmidt, Tuhan yang tak kunjung hadir dianggap menghilang kemudian digantikan oleh roh yang lebih rendah, dewa-dewa di kuil. Saat pilpres tak merubah nasib, manusia sekarang mulai berfikir bahwa caleg yang keberadaanya mewujud dan lebih dekat seakan lebih menjanjikan perubahan, caleg menjadi “roh yang lebih rendah” dibanding “tuhan (presiden)”. Siklus pencarian tuhan (presiden) sebagai juru selamat dari keganasan alam, atau roh-roh yang lebih rendah (Gubernur, Walikota, Bupati, Legislatif) membawa masyarakat dalam perseteruan sengit adu teori truth salvation. Konsep Tuhan dan roh-roh yang lebih rendah buatan mereka sendiri membuat mereka mengeluarkan agresinya. Dalam istilah Erich Fromm, agresi itu dinamai agresi jahat yang berupa kedestruktifan dan kekejaman sebagai kecenderungan khas manusia untuk merusak dan untuk memperoleh kekuasaan mutlak. Maka yang semula saudara bisa mendadak bermusuhan, yang dulunya kawan mendadak jadi lawan, agresi jahat bekerja demi ritual kepada tuhan dan roh-roh yang mereka anggap bisa menyelamatkan. Sekarang, bukankah masyarakat mulai sadar, ritual yang selama ini mereka ciptakan untuk tuhan dan roh-roh tetap tak bisa menaklukan keganasan alam? Kebanyakan mereka yang sadar memilih tindakan yang beragam. Mulai menjadi teodise ala Epikurus, tuhan (presiden) itu bisa menaklukan alam, tapi dia tak mau (berarti tuhan jahat). Atau tuhan (presiden) mau menghentikan kejahatan tapi dia tak mampu (berarti tuhan lemah). Atau hanya sekedar menjadi eskapis, lari dari kenyataan bahwa alam terlalu ganas. Mereka para eskapis belakangan ini sudah cukup dengan batu akik. Walau penulis curiga bahwa sebenarnya mereka sendiri (para eskapis) tahu bahwa mengasah batu akik tidak akan membantu menaklukan alam, ya, karena mereka hanya sebatas eskapis. Seiring dengan pergantian generasi, mereka berkembang ke arah yang lebih buruk. Suatu saat, ketika mereka berkembang sedemikian jahatnya hingga mereka memuja kekuatan ; kebenaran bagi mereka dan penghormatan terhadap kebaikan tak akan ada lagi. Pada akhirnya, manakala manusia tidak lagi marah terhadap pelanggaran, atau tidak lagi malu terhadap hal yang memalukan, Zeus akan membinasakan mereka, begitulah yang tertulis pada mitologi Yunani di zaman besi. Saat semakin bertambahnya orang eskapis dan sinisme terhadap kebaikan, Tuhan yang akan menghukum. Tapi, sebagai orang yang waras, menunggu Tuhan menghukum adalah sebuah sinisme terhadap kebaikan yang baru. Optimisme harus dikumandangkan agar keimanan kita terhadap perubahan tetap terjaga. Dari film PK (India), kita tahu Tuhan ada dua, pertama yang menciptakan kita, kedua adalah yang kita ciptakan. Kita harus mengkoreksi konsep Tuhan, kalau perlu Karl Rahner dalam Anonymus Cristianity kita kolaborasikan dengan hasil belajar dari film PK. Hasilnya, asal menaruh keimanan pada Tuhan yang menciptakan kita (yang mampu membantu menaklukan alam) kita tak perlu terjebak pada ritual seperti yang dipaparkan Rahner. Menurut Goenawan Mohamad, kita harus menghindari sinisme yang keliru, tak peduli ketika bangun saat fajar masih ada banyak hal yang belum terselesaikan, masih banyak hal yang harus dihancurkan, setidaknya optimisme dengan melakukan “sesuatu” bagi penulis lebih baik daripada eskapis yang keputusasaanya keliru.

Socializer Widget By Blogger Yard
SOCIALIZE IT →
FOLLOW US →
SHARE IT →

0 komentar:

Posting Komentar