Subscribe For Free Updates!

We'll not spam mate! We promise.

2015/03/29

Perubahan denagn Kepercayaan Rasional

*Ahmad Muqsith (Presiden Direktur Kelompok Studi Mahasiswa Walisongo 2015) Dalam sebuah tulisan catatan pinggirnya yang berjudul Istri Lot, Goenawan Mohamad begitu apik menjelaskan sisi heroik yang tersembunyi dari kisah hancurnya Sodom. Menyitir dari penyair Anna Akhmatova, Goenawan memunculkan ke permukaan kesadaran yang selama ini tertutupi mitos agama yang cenderung patriarkal. Ditulis alasan logis berbobot value yang tidak terungkap orang banyak tentang apa alasan istri Lot menoleh ke belakang dan akhirnya menjadi tiang garam. Dengan sedikit mereduksi sedikit sumber cerita yang bersumber dari agama-agama, syair Anna akan membuat kita mengangguk kecil dan bilang “ouw jadi begitu”. Syairnya “..tapi hati istrinya berbisik, kian kuat tak, tak seperti biasa : “senja belum gelap. Tengoklah di balik sana. Pandanglah menara kotamu yang merah mawar, taman tempat kau bernyanyi, halaman tempat kau memintal, jendela lapang rumahmu yang nyaman dimana anak-anakmu kau lahirkan.” Maka ia pun memandang Sodom kembali..” Istri Lot yang asli Sodom berbeda keterikatan jiwanya terhadap daerah yang dihancurkan Tuhan tersebut dibanding Lot yang seorang pengelana. Syahdan, apa beda kondisi pemuda sekarang dengan kondisi kisah yang ada dalam kitab suci tersebut? Terlalu banyak persamaanya. Pertama, hampir sudah tidak ada lagi pemuda yang punya keberanian dan hati seperti istri Lot, yang berani melakukan sesuatu demi sesuatu yang berharga-syarat nilai keutamaan bagi tempat kelahiranya. Banyak pemuda-pemudi yang merasa tidak masalah saat masalah benar-benar menjadi suatu hal yang membuat masyarakat resah dan gelisah. Banyak pemuda yang tidak mau menengok ke belakang melihat sesuatu yang berharga karena mereka tidak bernai terhadap tanggungan resiko yang terlalu tinggi. Mereka hanya menurut sesuai aturan dan perintah yang sebisa mungkin mencita-citakan ketertiban masyarakat. Jika Lot mematuhi Tuhan untuk tidak menoleh, maka mahasiswa pun sama. Bedanya, tuhan mahasiswa kali ini adalah belajar dengan giat tanpa peduli nasib rakyat. Ketakutan akan jaminan kerja di masa depan mendesak mahasiswa taat kepada peraturan agar lulus dengan nilai sempurna tanpa harus memperjuangkan nasib paria. Jangankan mengamati-menimbang kebijakan pemerintah terkait nasib rakyat kemudian menentukan sikap, mahasiswa sekarang mengetahui ada kebijakan apa saja pun tidak. Mahasiswa yang masih sempat ingat mandat sebagai pembela rakyat, sama halnya dengan nasib Istri Lot. Memperjuangkan sesuatu yang membuat mereka berhadapan dengan nasib yang singulardan ganjil. Seakan-akan menentang hukum alam dan tuhan, karena menurut keyakinan mereka, hemat penulis, tuhan dimaknai sebagai sesuatu yang harus dekat dengan urat nadi, bukan sesuatu yang transenden dan suci yang tidak mengurusi kaum paria. Maka apa yang mereka lakukan pondasinya adalah kesadaran dimana ada kemungkinan mereka juga sama menjadi tiang garam seperti istri Lot. Optimisme dan Pesimisme Jangankan melawan, penulis hanya berharap pemuda-pemudi-para mahasiswa mau melakukan sesuatu dan tidak menjadi orang yang eskapis. Orang yang melarikan diri dari kenyataan yang menurutnya sudah final dan tidak bisa di ubah. Tentu tidak harus melulu lewat aksi turun jalan-tapi menurut penulis hal itu tak bisa ditinggalkan. Tapi, upaya penyadaran pemuda-pemudi yang efisien adalah melalui menghidupkan lagi kelompok studi mahasiswa di masing-masing kampus, usaha ini merupakan-meminjam istilah Eric Fromm-sesuatu yang berdasarkan kepercayaan rasional. Suatu kepercayaan akan adanya perubahan yang berdasarkan kesadaran nyata tentang semua data yang relevan, dan bukan-seperti halnya kepercayaan irasional, yang merupakan ilusi yang dilandaskan pada keinginan kita. Kita tidak boleh pesimis mengatakan “Indonesia ya begini, mau diapakan lagi”. Karena pesimisme semacam itu adalah suatu keputusasaan. Keputusasaan hanya lahir berdasarkan pengetahuan komperhensif yang menjelaskan bahwa ada ketidakmungkinan terhadap sesuatu. Sementara lawanya, optimisme berdiri berseberangan. Optimisme adalah suatu bentuk kepercayaan, berdasarkan pengetahuan komperhensif yang menunjukan bahwa sesuatu mungkin terjadi, maka kita wajib mengarusutamakan sikap kepercayaan rasional ini dengan terus mencari solusi dari setiap permasalahan yang ada. Keputusasaan yang membuat seseorang menjadi eskapis menurut Eric Fromm adalah sesuatu yang tidak realistis. Membangun sikap optimis dengan membuahkan harapan, menurut penulis harus sama sperti di awal 1900-an, melalui kelompok studi. Budi Utomo harus kembali menjamur di kampus untuk menyebar virus optimisme dengan paketan solusi bagi setiap permasalahan yang ada. Kelompok studi harus menjadi motor penyebar dogma yang percaya kepada asas gerak kemajuan bersinambung. Jika masing-masing kampus se Indonesia mempunyai kelompok studi yang mampu bertugas seperti itu, maka perubahan adalah suatu kepercayaan rasional karena berdasarkan fakta, bukan kepercayaan yang irasional yang berdasarkan keinginan semata. Lantas, ada berapa jumlah mahasiswa yang berani mengambil resiko menjadi tiang garam seperti istri Lot?

Socializer Widget By Blogger Yard
SOCIALIZE IT →
FOLLOW US →
SHARE IT →

0 komentar:

Posting Komentar