Subscribe For Free Updates!

We'll not spam mate! We promise.

2015/03/17

Sampah plastik dan bunuh diri ekologi

* Ahmad Muqsith (Presiden Direktur Kelompok Studi Mahasiswa Walisongo 2015) Jika kita semua menyadari bahwa manusia bukanlah satu-satunya makhluk yang mempunyai karakter, bukan satu-satunya makhluk yang bisa merasa bahagia, sedih dan putus asa., juga bukan satu-satunya makhluk yang bisa mengalami penderitaan, maka kita (manusia) tidak akan pernah menjadi makhluk yang egois. Begitulah kata mutira hasil perenungan ratu pecinta lingkungan, Jane Goodall. Banyaknya masalah ekologi yang dihadapi manusia dewasa ini, membuat penulis ingin mendiskusikan bagaimana cara kita ambil bagian dalam penyelesaian permasalahanya. Masalah ekologi ini harus kita sadari siapa musuh-siapa teman. Kalau boleh meraba permasalahanya, penulis akan menjadikan prilaku sekelompok manusia tidak berwawasan lingkungan menjadi tokoh antagonisnya. Sementara agen perubahan lingkungan yang bersahabat dengan alam adalah tokoh protagonisnya. Penulis ingin mengajak masyarakat berperang melawan sampah plastik. Salah satu bagian terkecil dalam perang ekologi global. North Pacyfic Gyre, adalah kawasan di laut dari gumpalan sampah plastik yang membentuk menjadi pulau-pulau kecil. Bermuara dari sungai ke lautan. Pulau itu terbentuk karena konsumsi plastik dunia sudah mencapai 26 juta ton. Padahal plastik baru bisa terurai dalam interval waktu 80-100 tahunan Para pakar ekologi dan toksikologi biasa menyebut fenomena ini bagian dari ecological suicide. Kebiasaan membuang sampah sembarangan dengan asas “as not on my back yard” adalah rantai pertama dalam bunuh diri ekologi. Sampah plastik di laut terurai menjadi mikro plastik (belum terurai sempurna), termakan ikan laut-ikan dikonsumsi manusia, begitulah contoh kecil yang paling sederhana dari rantai ecologycal suicide secara tidak sengaja manusia memakan plastik. Menyebarkan Virus 4R dan 5M Menurut pakar toksikologi, Budi W (Rektor Unika), salah satu penyakit manusia adalah menganggap semua masalah bisa diselesaikan dengan teknologi. Sampah plastik misalnya, teknologi coba menyelesaikanya dengan membuat pengurangan berat botol minuman air mineral. Namun tidak selamanya teknologi mampu menyelesaikanya. Maka Fachruddin Mangunwijaya, anggota forum Konservasi Internasional mensosialisasikan gerakan Empat R khusus untuk masalah sampah plastik. Pertama adalah reuse. Selama masih bisa digunakan kembali kita tidak usah membuang plastik. Prinsip ini memungkinkan kita menggunakan ulang plastik yang belum rusak. Kedua adalah reduse. Asas kedua menekankan pada pengurangan penggunaan. Selama barang belanjaan tidak membutuhkan plastik maka kita tidak usah meminta plastik ke pedagang. Keranjang belanja ramah lingkungan harus menjadi trend pengganti kantong plastik. Ketiga adalah recycle, daur ulang adalah prinsip yang memungkinkan terbukanya lapangan kerja ekonomi kreatif. Sampah plastik bisa dijadikan sebagai komoditas pasar yang unik oleh wirausaha rumahan. Terakhir adalah rethinking, kita harus berpikir ulang, apakah benar-benar membutuhkan plastik saat berbelanja atau tidak. Walaupun banyak pusat perbelanjaan yang menawarkan kantong plastik atau kertas ramah lingkungan. Saat Empat R sudah dipahami maka gerakan ke dua adalah Lima M. (1)Mulai dari diri sendiri, setiap perubahan apapun tidak mungkin berhasil jika tidak dimulai dari diri sendiri. (2) Mulai dari sekarang, jadikan sebuah kebiasaan dan sebarkan virusnya. (3) Memulai dari hal terkecil, misal, sedia tempat air mineral untuk menghindari membeli air kemasan botol. (4) Mulai dengan sungguh-sungguh, tahap ini memahami langkah penanganan sampah plastik sudah menjadi prinsip. (5) Mulailah dengan istiqamah (berkelanjuta. Jika hal ini mau dicoba tentu prakteknya tak semudah membaca tulisan ini. Butuh kesadaran dan prinsip yang kuat. Pendekatan Agama Permasalahan ekologi harus diselesaikan dengan berbagai pendekatan. Pendekatan ekonomi, sosiologi bahkan pendekatan agama. Berbicara konteks pendekatan agama, berarti kita sudah siap menggunakan agama untuk kemanusiaan bukan lagi kemanusiaan untuk agama. Agama sudah tidak harus melulu membincangkan masalah eskatologi. Dalam Islam misalnya, adanya kajian Fiqih lingkungan menandakan bahwa agamapun sudah terdesak untuk ikut campur semakin dalam di permasalahan ini. Pendekatan agama melalui tokoh agama-agama adalah hal yang paling memungkinkan dilakukan masyarakat Indonesia. Khotbah di tempat peribadatan sudah saatnya mulai menghimbau umat untuk kembali menjaga lingkungan. Reinterpretasi konsep Khalifah fil ard dan knowledge is power tidak lagi diperkenankan untuk menjadikan alam dieksplorasi sesuka hati oleh manusia. Harus ada ceramah-ceramah yang menggeser paham antroposentris yang merajakan manuisa kembali pada paham bahwa manusia dan alam adalah sahabat. Puncak peribadatan harus menyentuh perawatan alam. Kalau bisa, semua upaya harus dilakukan untuk mencegah ecological suicide, kalau hal itu dikatakan tidak mungkin, setidaknya kita harus menghambat bunuh diri tersebut.

Socializer Widget By Blogger Yard
SOCIALIZE IT →
FOLLOW US →
SHARE IT →

0 komentar:

Posting Komentar