Subscribe For Free Updates!

We'll not spam mate! We promise.

2015/03/17

Wisuda dan Pseudo Gelar Sarjananya

Sekitar 1.100-an mahasiswa Universitas Islam Negeri Walisongo 29 Januari kemarin diwisuda. Wisuda bagi mahasiswa sama seperti dengan arti sebuah kemerdekaan untuk negara yang terjajah. Persamanaya adalah sama-sama “hanya” sebatas pengantar menuju gerbang emas. Lantas apakah wisuda jaminan peningkatan kehidupan sosial yang lebih baik? Wisuda adalah gerbang dimana seseorang akan bertemu jalan bercabang dua. Jalan menuju strata jenjang pendidikan yang lebih tinggi atau jalan merintis karir sebagai pekerja. Penulis hanya mau menanyakan apakah lapangan pekerjaan yang tersedia mampu menyerap semua wisudawan? Rasio diantara ketersedian pekerja dan lapangan pekerjaan tidak seimbang. Pembukaan prodi besar-besaran yang dilakukan beberapa Perguruan Tinggi juga menambah permasalahan. Pasar belum siap menyerap lulusan di beberapa jurusan baru tersebut. Pengangguran dengan label sarjana bukanlah hal asing di negeri ini. Investasi asing yang future orientred membuat Indonesia dengan bonus demografi pekerja usia produktif tinggi menjadi negara sasaran. Investor tergila-gila ingin menanamkan modalnya dalam segala bidang. Menurut Faisal Basri hal ini karena sampai 2030 Indonesia mempunyai angka pekerja usia produktif melebihi negara-negara lainya. Hal ini berbanding terbalik dengan negara Asia seperti Jepang ataupun Korea Selatan. Banyak pengamat politik mengatakan hal ini adalah sebuah bonus demografi. Bonus demografi? Keunggulan dalam demografi ini bisakah disebut bonus? Tidak sepenuhnya bisa di benarkan, pun tak bisa juga sepenuhnya disalahkan. Tidak benar karena usia produktif dengan jumlah puluhan juta tidak di imbangi jumlah lapangan kerja yang layak. Tidak lebih dari separuh usia produktif (termasuk yang baru diwisuda) yang akan mampu terserap menjadi pekerja, selebihnya tetap “nganggur” jika tidak kreatif. Jika tidak kreatif tetapi punya modal nekat mereka malah menjadi Tenaga Kerja Indonesia (TKI) ke negara-negara Asia. Pembelaan yang berlindung pada term “sumber devisa” oleh pemerintahan selama ini patut dikoreksi ulang. Padahal jelas dalam Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 27 ayat 2, dijelaskan bahwa tiap warga negara Indonesia sebenarnya dijamin haknya untuk mendapat pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan. Jika yang tersedia hanya sebagai buruh dan amanah UUD pasal 27 ini (penghidupan yang layak) hanya bisa dicapai seseorang hanya jika ia menjadi TKI, apakah negara yang memang mengurusi hal itu lewat Kementransker sudah bisa dikatakan menyediakan hak bagi warganya? Saya rasa tidak sepenuhnya begitu, karena negara besar tidak ada yang bangga dengan status buruh warganya. Menurut Ken Schooland era otomasi memang mengharuskan adanya efisiensi tenaga kerja karena tenaga manusia sudah tergantikan mesin. Penghematan biaya produksi dari otomasi harus dicermati dengan penggantian segera lapangan pekerjaan yang hilang karena otomasi tadi. Penghidupan layak yang berbasis pada ketersediaan lapangan kerja harus dicarikan solusi pemerintah dan-bahkan Perguruan Tinggi. Pemerintah berkewajiban karena selaku pengemban amanat konstitusi. Meskipun kuliah bukan hanya berorientasi pada pekerjaan, Perguruan Tinggi juga wajib berperan ganda seperti Balai Pelatihan Tenaga Kerja sementara. Wisudawan dan Filsafat Vitalisme Mitos “bonus” demografi akan selamanya menjadi mitos jika tenaga kerja usia produktifnya tidak kreatif. Apalagi pemerintahanya tetap bangga dengan “sumber devisa” besar yang diperoleh warganya yang menjadi buruh di negeri orang tanpa ada usaha menghentikan trend tersebut. Lagi-lagi, bonus demografi benar-benar menjadi bonus bagi investor asing belaka. Keterbatasan lapangan pekerjaan yang dikelilingi investasi asing besar-besaran, umumnya menciptakan tenaga kerja yang bekerja tidak sesuai bidangnya (bagi yang bergelar sarjana). Meskipun mereka tetap bekerja, salah satu tujuan mereka kuliah (meningkatkan kwalitas kehidupan sosial) akan terbentur fakta lapangan bahwa kwalitas kehidupan sosial mereka sama dengan orang yang tidak kuliah, yang tidak bergelar sarjana dan tanpa pernah diwisuda. Semua orang ingin menempuh kehidupan yang layak, ketika negara yang diamanahi untuk melakukan tugas tersebut kelihatanya tidak mampu, maka kita harus mempunyai elan vital yang tangguh untuk mewujudkanya sendiri. Elan vital adalah Istilah yang dipopulerkan filsuf Henri Bergson. Ia menyatakan bahwa kehidupan manusia ditentukan oleh daya hidupnya, keinginan untuk hidup lebih baik. Daya dorong yang membuat manusia selalu mampu mengatasi semua permasalahnya. Maka tempahan proses selama perkuliahan saya rasa akan menjadi salah satu faktor pembeda nasib antara mahasiswa satu dengan mahasiswa lainya. Mahasiswa yang sudah terbiasa berproses dalam organisasi misalnya, mereka akan mempunyai elan vital yang lebih hebat daripada mahasiswa biasa. Maka sangat menarik jika ribuaan wisudawan tadi mengenal lebih jauh filsafat vitalisme untuk menyiapkan daya hidup menyambut kehidupan di dunia nyata yang penuh dengan tantangan. (Ahmad Muqsith : Presiden Direktur KSMW 2015)

Socializer Widget By Blogger Yard
SOCIALIZE IT →
FOLLOW US →
SHARE IT →

0 komentar:

Posting Komentar