Subscribe For Free Updates!

We'll not spam mate! We promise.

2015/03/17

Indonesia dan Masyarakat Produsen

*Ahmad Muqsith (Presiden Direktur KSMW 205) Memajukan bangsa besar yang punya sumber daya manusia dan sumber daya alam, harus dengan mentransformasikan budaya masyarakat konsumtif menjadi masyarakat produktif. Masyarakat produktif akan menciptakan seluruh kebutuhan masyarakatnya sendiri. Transformasi budaya tersebut hemat penulis harus dimulai dari bidang penelitian. Lihat saja barang seperti HP, motor atau barang elektronik lainya, berapa yang hasil dari produksi lokal? Memajukan penelitian untuk mengembangkan inovasi menyambut pasar bebas darurat untuk segera dilaksanakan. Tidak ada penelitian, tidak ada inovasi, tidak ada pengembanngan kreatifitas, sama dengan menciptakan masyarakat konsumtif. Usaha menciptakan masyarakat produktif tidak bisa sekedar dari angka-angka, missal hanya dari naiknya angka APBN untuk pendidikan (bukan kwalitas pengelolaanya yang naik), angka investasi asing dan utang luar negeri yang naik(yang jamak dilakukan Negara berkembang). Menciptakan masyarakat produktif menjadikan “basis penelitian berkualitas” menjadi pra syaratnya. Kementerian Riset dan Teknologi-lembaga pemerintahan nir kementerian yang juga memmbidangi hal yang sama-selama ini tersubordinasi dari perhatian pemerintah, lihat saja anggaran yang dialokasikan. Pemerintah harus merubah paradigma untuk lebih meperhatikan sekelumit permasalahan mendasar dunia penelitian. Setidaknya pemisahan kementerian hasil desakan Forum Rektor Indonesia tadi penulis anggap sebagai angin segar-harapan besar dunia penelitian. Sebagai world citizen (warga dunia) kita harus menerima resiko untuk menyambut Masyarakat Ekonomi Asia (MIA). Negara yang mempunyai inovasi lebih unggul buah dari kemajuan penelitian akan muncul menjadi pemenang. Bangsa yang akan menjadi pemenang adalah masyarakat yang mampu menciptakan kebutuhan untuk dirinya sendiri terlebih dahulu. Indonesia? Pengembangan dari dunia penelitianya saja masih membuat masyarakatnya terjebak pada buah-buahan hasil import. Syarat mutlak pendorong kemajuan ilmu pengetahuan dan pengembangan teknologi adalah stabilitas politik. Mungkin hal tersebut yang membedakan bangsa ini dengan Malaisya dan Singapura. Menjadi hal yang sangat berbahaya jika ilmu pengetahuan juga ikut-ikutan dipolitisir. Selain stabillitas politik, masalah kelasik dari bidang penelitan adalah anggaran. Jika Indonesia hanya mendapat anggaran 0,08 % dari Produk Domestik Bruto (PDB), maka wajar Malaisya dan Singapura mampu maju lebih progresif Ilmu pengetahuanan, riset dan teknologinya, karena mereka mendapat anggaran 1-2% dari (PDB). Berharap dengan Dua Gerakan Berharap dalam Kamus Bahasa Indonesia diartikan sebagai keinginan akan terjadinya sesuatu. Lantas harus berharap apa kepada Indonesia dan pantas mengharap apa Indonesia ini? Pertanyaan ini akan membawa kita pada dua dimensi, idealisme dengan realisme. Idealnya Indonesia dengan bonus demografinya yang luar bisa harus mampu beradaptasi dengan iklim globalisasi-pasar bebas. Realitanya, jika ingin menyambut perdagangan bebas, bonus demografi sebagai negara penyedia tenaga kerja usia produktif terbanyak di dunia harus bisa dimanfaatkan. Dengan realita sistem pendidikan sekarang, jangankan pengembangan ilmu pengetahuan untuk memajukan penelitian dan membuat pengabdian ke mastarakat terwujud, karakter (salah satunya konsumtif) masyarakat (bahkan mahasiswa) Indonesia saja belum selesai tergarap. Globalisasi membuat supermasi organisasi multilateral mengkampanyekan perdagangan bebas-perluasan pasar. Dunia kerja yang telah terstruktur dalam dimensi kapitalisme akhirnya mengurung masyarakat Indonesia dengan virus “konsumtif” yang tersebar secara halus. Maka gerakan pertama yang masuk cetak biru adalah menjadikan masyarakat kita menjadi masyarakat produsen. Harapan penulis tentu produsen yang berbasis pengembangan ilmu pengetahuan dan penelitian. Misal, buah-buahan import harus ditekan dengan hasil pengembangan rekayasa genetika buah lokal. Hal ini hanya mungkin jika pendidikan dan penelitian terurus secara benar. Gerakan kedua adalah cinta produk dalam negeri. Saat gerakan pertama terselesaikan dan menghasilkan kualitas produk kita sama dengan kualitas produk import, cinta produk dalam negerilah yang menentukan produk mana yang akan dibeli. Jika ingin belajar dari sejarah, maka swadesi dari Mahatma Ghandi harus kita praktekan. Menurut Ghandi kita tidak mungkin membeli produk import tanpa izin dari diri kita sendiri untuk mencintai produk tersebut. Swadesi mampu membuat produsen luar negeri gulung tikar. Gerakan pertama dan kedua ini sangatlah selaras, tidak mungkin kita mengkampanyekan cinta produk dalam negeri jika kualitas yang tersedia tidak memenuhi standar umum. Mengkampanyekan produk dalam negeri dengan kualitas rendah adalah perampokan halus hak konsumen. Sebagai bangsa yang mempunyai “potensi” besar, penulis berharap dua gerakan ini mampu menguatkan kaki Indonesia untuk mampu berdiri gagah di era globalisasi. Lantas mengharap apa Indonesia ini? Indonesia sangat pantas sepantas-pantasnya mengharap harapan terbaik untuk dirinya, karena penulis tidak melihat ada sesuatu yang lebih besar dibandingkan dirinya.

Socializer Widget By Blogger Yard
SOCIALIZE IT →
FOLLOW US →
SHARE IT →

0 komentar:

Posting Komentar